Kenapa Pengembang Suka Bikin Pusing? Rahasia di Balik Kompleksitas Kode
21 Agustus 2025
Di dunia coding, ada satu prinsip sakti yang selalu digaungkan: "Keep It Simple, Stupid" (KISS). Kedengarannya masuk akal, kan? Bikin yang simpel biar gampang dipahami, gampang dirawat, dan nggak bikin kepala pecah. Tapi, coba tengok saja proyek-proyek software di sekitar kita, seringkali yang kita temui malah sebaliknya: kode yang ruwet, arsitektur yang berlapis-lapis, sampai-sampai mikirinnya saja sudah bikin mengernyitkan dahi.
Lalu, kenapa sih para pengembang ini seperti punya ketertarikan tersendiri pada kerumitan? Ini bukan cuma soal nggak sengaja, tapi ada alasan-alasan menarik di baliknya, dan ini bukan cuma buat para developer saja, tapi buat siapa pun yang penasaran sama proses di balik layar teknologi yang kita pakai sehari-hari.
Bukan Sekadar 'Bingung', Tapi Ada 'Seni' di Balik Kompleksitas
Pernah dengar soal Piramida Besar Mesir? Dibangun lapis demi lapis, megah, dan bikin takjub. Penulis artikel ini menyamakannya dengan cara software menjadi kompleks. Dulu mungkin simpel, tapi seiring waktu, ditambahi ini, ditambah itu, sampai jadi "piramida" yang besar.
Pertanyaannya, apakah piramida ini selalu kokoh dan bermanfaat sampai ke intinya? Kadang, seperti piramida yang di dalamnya mungkin kosong, lapisan-lapisan kompleksitas ini justru menyembunyikan kurangnya substansi atau membuat maintenance jadi mimpi buruk.
Nah, kenapa kita nggak ambil jalan yang lebih sederhana? Coba lihat perintah cat
di Unix atau bahkan JavaScript murni. Mereka fokus pada satu hal, melakukan itu dengan baik, dan terbukti lebih unggul dalam jangka panjang karena langsung menyasar kebutuhan inti pengguna.
Tapi, kenapa para pengembang tetap tergoda pada jurang kompleksitas?
- Bumbu Pemasaran: Kadang, solusi yang "rumit" itu lebih mudah dijual. Terkesan canggih, eksklusif, dan butuh orang-orang super ahli untuk membuatnya. Ini semacam "bukti sosial" yang membuat orang lain penasaran dan terkesan.
- Ilusi Keahlian: Bayangkan sebuah kode yang sangat rumit. Orang awam bisa langsung berpikir, "Wow, ini pasti dibuat oleh programmer jenius!" Padahal, bisa saja solusi yang lebih sederhana sudah cukup mumpuni. Kompleksitas seringkali disalahartikan sebagai tanda kecerdasan.
- Kenikmatan Otak: Buat sebagian pengembang, memecahkan teka-teki yang rumit itu punya kepuasan tersendiri. Ini seperti tantangan intelektual yang bikin nagih. Semakin rumit, semakin "seru" rasanya jika berhasil dipecahkan.
- Beban Warisan (Technical Debt): Proyek software itu seringkali punya sejarah. Kode lama yang sudah rumit diwariskan ke pengembang baru. Alih-alih menyederhanakan, seringkali malah ditambahi fitur baru yang semakin menambah lapisan kerumitan.
- Perang Kolaborasi dan Ketahanan Masa Depan: Di tim besar, seringkali ditambahkan lapisan-lapisan abstraksi agar kolaborasi lebih mudah atau agar kode dianggap "tahan masa depan". Ironisnya, ini malah sering berujung pada solusi yang terlalu berbelit-belit.
- Dorongan Inovasi yang Tak Terkendali: Lanskap teknologi itu kompetitif. Agar tetap relevan, tim pengembang dituntut untuk terus berinovasi. Munculnya fitur-fitur baru yang kompleks jadi salah satu caranya tampil beda.
Membangun Piramida yang Berarti
Jadi, apakah kita harus membenci kompleksitas? Tentu tidak. Kadang, kompleksitas memang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang rumit. Kuncinya bukan pada menghindari kompleksitas, tapi pada bagaimana kita mengelolanya.
Artikel ini mendorong kita untuk membangun "piramida" software kita dengan tujuan yang jelas. Setiap lapisan yang ditambahkan harus memiliki nilai nyata dan alasan yang kuat, bukan sekadar memanjakan diri dalam kerumitan demi kerumitan. Mari kita ciptakan software yang tidak hanya fungsional, tetapi juga mudah dipahami, dirawat, dan memberikan manfaat yang tulus bagi penggunanya.